Rencana Pencabutan Perbup 53/2011 Picu Penolakan, Aktivis Khawatir Marak Mihol dan Prostitusi di Kabupaten Semarang

Rencana Pencabutan Perbup 53/2011 Picu Penolakan, Aktivis Khawatir Marak Mihol dan Prostitusi di Kabupaten Semarang

Minggu, 24 Agustus 2025, 16.39.00


SEMARANG|
BareskrimNEWS.com– Rencana pencabutan Peraturan Bupati (Perbup) Kabupaten Semarang Nomor 53 Tahun 2011 tentang pembatasan hotel melati, karaoke, panti mandi uap, dan usaha hiburan berisiko tinggi menuai penolakan keras dari berbagai kalangan


Ketua ELBEHA Barometer, Sri Hartono, menegaskan bahwa aturan tersebut justru menjadi benteng moral masyarakat. Ia khawatir jika aturan dicabut, peredaran minuman beralkohol (mihol) dan praktik prostitusi terselubung akan semakin menjamur di wilayah Kabupaten Semarang.


“Sangat memprihatinkan, bisa merusak moral generasi muda kita. Pemda jangan abai dengan kondisi ini,” ujarnya, Minggu (24/8/2025).


Menurut Hartono, wilayah yang paling rawan terpapar bisnis hiburan berisiko tinggi adalah kawasan wisata Bandungan dan Kopeng. Bahkan, di kawasan Ungaran disebutnya sudah mulai muncul bisnis clubbing yang menjual mihol secara bebas.


Desak Razia dan Penegakan Hukum


Hartono mendesak Bupati Semarang agar memperketat pengawasan. Ia juga meminta Satpol PP dan kepolisian rutin menggelar razia mihol dan prostitusi, sekaligus menindak tegas pengusaha hiburan tanpa izin.


“Jangan hanya pekerjanya yang ditindak. Pengusaha hotel, karaoke, dan bar nakal juga harus kena jerat hukum,” tegasnya.


Menurutnya, Perbup 53/2011 tidak boleh dicabut, melainkan ditegakkan dengan sanksi nyata. “Kalau Pemda tidak tegas, kami siap kawal aturan itu. Jangan biarkan tumbuh karaoke baru, hotel esek-esek, bar, dan toko mihol,” imbuhnya.


Aktivis dan Tokoh Agama Ikut Menolak


Penolakan serupa juga datang dari sejumlah tokoh agama dan aktivis lingkungan. Salah seorang tokoh agama yang enggan disebutkan namanya menilai, Perbup 53/2011 sangat penting untuk membatasi usaha berisiko tinggi yang berpotensi merusak lingkungan sosial.


“Semestinya tidak perlu dicabut. Justru perlu diperkuat dengan peraturan tambahan. Apalagi sudah ada PP No. 28 Tahun 2025 tentang pendirian usaha berbasis risiko,” jelasnya.


Ia mengingatkan bahwa keberadaan tempat hiburan harus memperhatikan aspek sosial. “Karaoke tidak boleh dekat sekolah atau tempat ibadah. Kalau dilanggar, jelas merusak lingkungan sosial,” tandasnya.


Bola Panas di Tangan Pemkab


Dengan adanya penolakan dari aktivis dan tokoh agama, kini sorotan publik tertuju pada langkah Pemkab Semarang. Apakah pemerintah daerah tetap mempertahankan Perbup 53/2011 sebagai pagar moral masyarakat, atau justru mencabutnya dengan risiko maraknya mihol dan prostitusi di bumi serasi.(Sary)

TerPopuler